Senin, 01 April 2013

cerpen " senja yang buram "


Senja yang buram

*Oleh Dede kankan

            Amanda sudah lama hidup menjanda, tapi hal ini tidak pernah menjadi hambatan bagi kehidpannya meski harus mengurus adiknya yang masih dini. Kadang juga es di matanya mencair di hadapan tatapan senyum poto kedua almarhum orang tuanya yang telah meninggal karena  kekejam revolusi.
            Irfan si bocah malang yang masih berusia dini  harus di tinggalkan dalam keadaan bayi merah setelah kedua orang tuanya diculik oleh orang yang tidak di kenal dan tidak dikembalikan sampai saat ini. Namun karna kepolosan sifatnya yang masih kecil dia tidak merasakan gangguan batin karena ditinggalkan orang tuanya, dia malah tersenyum menjalani hidup ini dengan sedikit uang jajan yang diterimanya dari setiap laki-laki yang datang untuk mencicipi manis tubuh janda muda yang tidak lain adalah kakaknya sendiri. Ia belum mengerti makna olok-olok tetangga tentang kehidupan kakaknya. Meski berkata bahwa sesungguhnya kakaknya adalah miliknya tapi bila setelah mendapat persenan kata-kata itu musnah seperti tida pernah terucap.
            Dalam kesehariannya irfan sudah bertingkah layaknya orang dewasa. Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat ke kota untuk jualan bersama serdadu-serdadu yang berasal dari luar negri, yang menjadi kliennya selama ini. Barulah ia pulang kalau sang pajar mulai memalingkan sinarnya dan kantongnya telah terisi. Tiap sudah sampai di rumah ia langsung ganti baju dan siap-siap untuk menerima persenan dari lelaki yang datang sambil duduk santai di kursi depan. Memang masih berusia dini tapi kalau masalah materi dia sudah paham seperti layaknya orang dewasa. Ia tidak tahu perasaan kakanya selama ini yang selalu menangis dalam senyuman, yang ia pikirkan hanya perutnya saja yang harus selalu terisi.
            Pada suatu hari sang pajar belum terlihat kegagahannya, namun irfan sudah siap dengan semua peralatannya untuk berangkat, ia ingin mampir dulu ke kali untuk membersihkan badannya yang mulai diliputi beribu wangi meski kali itu sendiri mempunyai wangi yang berasal dari gunungan sampah di sepanjang arusnya, namun  karena sudah biasa ia tidak menghiraukannya. Dari kejauhan dua sosok anak yang salah satunya seperti ia kenal. Dengan sigap ia naik dengan langkah yang agak lebar takut keduanya keburu lewat. Setelah sampai berada di sisi jalan itu ia duduk santai sambil menunggu mereka.
“ hey ! Berandal ! kamu lagi ! apa yang kamu lakukan, heh ? mau ngajak adikku main lagi ?” tak di sangka olehnya kakak si Andri ternyata malah sewot duluan, mungkin ia marah karena pada  hari kemarin  Irfan pernah mengajak Andri main di pasar sambil jualan bersamanya namun bukan karena main kakanya marah karena waktu itu pas pada jam Andri harus masuk sekolah.
“ uh sewot lu, emangnya siapa yang ngajak adik lu main ? dia sendiri yang maksa ikut main.”
 “ ah.. sudah ! mana ada maling yang ngaku, terus kamu mau apa nyegat kami ?”
“ aduh, Dri sewot juga kakakmu itu, siapa  yang nyegat ? kebetulan saja aku sudah mandi dan berniat mengeringkan badan di sini.”
 “ dasar anak goblok, edan nggak tau sopan santun. Ayo, Dri kita pergi dari pada ngeladeni orang dongo kayak dia.”
Irfan tidak terima dikatakan seperti itu “  Siapa lagi yang duluan ngomong. Dasar goblok kakak lu Dri, sewot lagi.” Irfan pun bergegas pergi karena takut kakak Andri jadi tambah edan. Meski sudah tidak ada di hadapan, namun kakak si Andri terus berkata  “dasar anak nggak punya masa depan. Mau jadi apa entar sudah gedenya masih kecil sudah goblok gitu. Uhhh dasar.”

            Irfan segera bergegas datang ketempat yang menjadi ladang emas bagi kehidupannya, bergaul dengan orang-orang yang selalu berbelas kasihan dan juga memberikan upah bagi dirinya.
“ wah ! gimana penghasilan hari ini, Beh ?” Tanya irfan kepada bang Emon, orang yang kini beranjak tua dengan umur kepala 6, bang Emon lebih akrab dipanggil Babeh. Ia tinggal bersama anaknya yang kini juga beranjak puber dengan badan yang sangat cantik dihiasi dua payu dara yang berisi. Istrinya sudah lama meninggalkanya dan pergi dengan laki-laik lain ketika bang Emon mengalami penurunan pendapatan harian.
 “ Ah… biasa saja, Fan, apa lagi sekarang banyak saingan yang mulai dengan modal lebih tinggi. Sehingga para pembeli mudah membeli dengan harga taraf bawah dengan mendapatkan  barang bertaraf tinggi.” Sahut bang Emon yang berkucuran keringat.
“ ya sabar aja, Beh. Kalo udah rizkinya nggak bakal lari kemana. Entar juga kalau sudah saatnya pasti datang dengan sendiri. Eh, Kak Astri kemana Beh ? Kok kagak seperti biasa, nemenin Abang, kalau mata hari mulai agak menampakan diri.”
“ Oh… si Astri Fan ! Tumben nanyain, biasanya juga kalau ada acuh saja.” Ujar bang Emon sambil menengak kopinya yang sudah setengah gelas lagi.
“ Aduh panjang umur juga ini anak, baru saja di omongin nampak juga punya indra ke enam kali ya…?” Sambung bang emon sesaat ketika Kak Astri datang menghampiri dengan badan yang sudah wangi dengan semprotan embun-embun pewangi. Kak Astri dengan sigap menyangkal perkataan bapaknya yang kelihatan mulai melemah karena kecapean
“ Ada apa Beh ? kok Astri datang langsung ngomong gitu, Apa ada yang salah dengan Astri ?, Eh.. Beh sekarang Astri tidak bisa menemani Babeh berjualan dulu, karena Astri ada janji dengan teman mau ketemuan, Fan kebetulan ada kamu Kakak minta tolong yah temenin Babeh dulu selama Kak Astir pergi, tenang saja entar Kaka beri upah . Oke !”
 “ Oke Kaka yang cantik, Siap bos.” Sahut Irfan dengan menggerakan tangannya seperti orang yang sedang upacara dengan meletakan tangan di atas jidat yang bersih tanpa setitik jerawatpun.
            “ Astri… Astri…” terdengar teriakan suara dari dalam mobil jip yang berada di depan Gang Sembrono
“ Beh tuh temanku sudah jemput , Aku pergi dulu ya, Daah.” Astri beranjak berangkat sambil melambaikan tangan
“ Ternyata tidak sulit mengadakan perjanjian denganmu, tinggal panggil dari depan gang sudah langsung nongol. Ayo silakan masuk cantik.” Ujar pemuda gagah yang membawa mobilm jip itu
“ Ah… biasa aja kali, jangan gombal gitu. “
“ Ya okelah kalau begitu, yuk siap-siap kita jalan. Eit, jangan lupa sabuk pengamannya, aku tak mau si cantikku entar kenapa-napa.”
“ Iya makanya jangan ngebut-ngebut bawanya.”  
            Mereka berdua pergi ketempat yang sangat banyak menghiasi warna-warni kota yang selalu dijadikan tempat bersenang-senang oleh kaum kalangan berada, keberadaanya sekarang sudah tidak bisa dihitung dengan jari tangan. Setelah sampai di tempat itu mereka langsung duduk di tempat yang paling pojok karena tidak mau acaranya terganggu oleh lalu lalang tamu yang lain dan memesanlah mereka kepada pelayan
“ Mas tolong satu botol bir saja dengan cicipan yang biasa, cepat ya…”  pelayan itu dengan sigap berangkat untuk mengambilkan pesanan tamunya itu.
Setelah pelayan itu menghilang tertutup gerumunan orang yang sedang berdansa, Albert membuka perbincangan dengan Astri. Dari mulai kabar dirinya sampai kabar keluarga dia tanyakan dan seringkali Astri juga balik bertanya, seperti tinggal dimana sekarang Albert  itu karena sepengetahuan Astri Albert adalah orang yang sedang berwisata yang berasal dari Negara yang mempunyai julukan sikepala singa yang di kenalkan oleh temanyya. Ternyata di hotel yang sedang mereka kunjungi,  Albert tinggal di kamar nomor 245. Seketika sedang asyik berbincang pelayan itu kembali menghampiri mereka dan bedanya sekarangh dia menghampiri dengan membawa pesanan yang diminta oleh Albert. Meski dalam hati Astri belum begitu yakin kepada Albert bahwa dia orang singapur karena dia sudah lancar berbahasa Indonesia namun Astri bersikap biasa saja seperti acuh dengan asal-usul peria yang berada di depannya, mungkin kerena Astri terlanjur terpikat dengan kegantengan peria yang berhidung mancung itu, ditambah bila dilihat dengan sebelah mata dari cara berpakaian dan pergaulannya dia mempunyai corak orang elit sehingga Astri berpikiran bila Dia jadi kekasihnya bisa hidup dengan nyaman dan enak. Setelah pesanan di sajikan di atas meja bulat yang ditempeli kain putih dengan corak yang lucu dan diberi hiasan satu ikat beberapa kembang mereka mulai mencicipinya. Selang waktu beberapa lama hidangan yang berada di depan mereka mulai terlihat bersih dan botol yang berisi bir itu pun mulai kosong. Namun disisi lain mungkin karena terlalu banyak minumm, Albert mabuk berat sehingga tak sanggup untuk berdiri pun.
“ Astri sepertinya kepalaku pusing berat nih, tolong antarkan aku ke kamar, sebaiknya aku istirahat dulu.”
 Untung Astri hanya minum sedikit sehingga dia bisa mengangkat tubuh Albert hingga ke kamar bahkan hingga kedepan kasur Albert, namun ketika Astri mau melepas pegangan tangan Albert dari pundaknya terasa sangat sulit dan lama kelamaan pegangannya bertambah kuat bahkan sekarang bukan memegang lagi melainkan memeluk. Terasa getaran hawa busuk dari getaran pikiran Albert dalam hati Astri, meski hati kecilnya menolak namun pikirnya bila dia melakukannya dia bisa menjadi istri Albert yang kaya itu. Tempat berpelukannya kini pindah keatas ranjang dan diantara pelukan kedua orang itu kini hanya terhalang oleh sehelai rambut yang hitam dan berkilau.
                                                ****
            Babeh mulai kesal menanti kembalinya sang putri tercinta, meski terkadang suka bersikap keras pada Astri namun begitulah cara Babeh mewujudkan rasa kecintaannya pada anak yang sudah genap 16 tahun dia besarkan tanpa sentuhan kehangatan seorang ibu sejak berumur 3 tahun.  Babe mulai mondar-mandir, pelanga-pelongo ke setiap pintu masuk yang sebagian besar berada di pojokan rumah dan kadang  mencoba memandang dua benteng yang membentuk gapura yang berada tepat di hadapan rumahnya dengan harapan sang putri dambaan muncul di tengah-tengahnya .                               “Fan kita tutup sekarang saja ya…”
“ Lho… Kok ditutup kan masih siang, apa lagi jam segini biasanya juga lagi sibuk-sibuknya menerima pembeli, kan sekarang para pegawai sudah jamnya pulang jadi seperti baiasa mereka pasti mampir dulu sambil lihat-lihat barang yang baru.”
 “ Tapi Babeh sangat khawatir pada Astri kan kamu juga tahu tadi dia bilang mau keluar dulu sebentar paling cuma makan, tapi coba lihat matahari sudah menyingsingpun masih belum datang. Kira-kira kemana perginya ya? Tadi kamu kenal nggak sama orang yang membawanya pergi?, Babeh rasa dia bukan orang sini karena baru kali ini Babeh melihat batang hidungnya. Sekarang Babeh mau cari saja simata wayang babeh mungkin saja ada yang tahu kemana mereka pergi. Sekarang kamu juga pulang saja pasti kakakmu sudah khawatir dan menunggu kamu.”
 “ Apa Beh ? Kakak khawatir ? Biasanya juga tidak peduli aku mau pulang jam berapa saja bahkan mau pulang mau engga.”
“ Jangan begitu, Fan. Mungkin kamu hanya melihat dari satu sisi, mungkin juga karena saking sibuknya dia tidak bisa seratus persen memperhatikan kamu, kamu juga tahukan sekarang dia yang menjadi tulang punggung untuk kehidupan kalian berdua, itu juga adalah wujud perhatiannya sama kamu.”
                                                ****

            Astri sedang membereskan pakaian yang di kenakannya sebelum melakukan hubungan yang seharusnya hanya boleh di lakukan oleh pasangan suami istri secara sah. Hati kecil Astri secara psikologis merasakan tekanan batin atau merasa was-was dengan apa yang telah di lakukan oleh nafsunya. Pikiran Astri terus terbayang-bayangi oleh gunungan harta dan golakan dosa, sering kali ia menatap wajah lelaki yang sudah mencuri keperawanannya seakan mau mengatakan sesuatu namun masih malu.
” Sekarang antarkan aku pulang. Sudah sore, apa lagi aku bilang pada Babeh hanya sebentar, pasti ia sudah khawatir. “
“ Baiklah kalau begitu, namun sebelum berangkat bereskan dulu bajumu dengan rapih.”
                                                ****

            Irfan bergegas pergi dengan membawa beberapa lembar uang sebagai jatah yang tadinya di janjikan oleh Astri, meski dalam hatinya masih menggrutu ingin menunggu dulu Astri karena bila Astri yang ngasih uang padanya suka agak besar di bandingkan dari Babeh. Sambil berjalan lunglai Irfan terus berpikir kemana kakinya akan mampir dulu karena melihat kondisi di rumah yang sedang tidak bersahabat karena kejadian malam yang menyebabkan Irfan mengalami penyakit tidak betah di rumah.
            Amanda menunggu kedatangan sang adik yang pergi dari tadi pagi, hatinya merasa bersalah karena sikapnya yang mungkin kurang perduli pada Irfan dan lebih mementingkan kehangatan yang di beli oleh para pendatang dari bara panas tubuhnya. Banyak para lelaki yang membawa dompet tebal untuk mencumbuinya datang, tapi dia terus menolak karena dia tidak enak perasaannya sebelum batang hidung adiknya berada di depan kedua bola matanya. Ingin dalam benaknya untuk pergi mencari namun karena keadaannya yang kini menjadi guyonan penduduk dan sering kali jadi hinaan karena pekerjaannya dia mengendurkan niatnya dan lebih pasrah menunggu sambil berdo’a demi keselamatan. Dia memang merasa malu dan hina karena pekerjaannya namun hanya jalan itulah satu-satunya yang bisa dia tempuh untuk membayar mahalnya bernafas di Negeri ini, Dengan kurangnya pengetahuan dan terbatasnya keahlian yang mendorong menjerumuskannya pada jurang kenikmatan itu.
            Irfan mulai melihat gubuknya yang tua dari kejauhan,. Ia bergegas untuk masuk namun kadang memundurkan langkahnya lagi dan menepi di sebuah pohon besar yang berada di pinggir bangunan tua itu. Ingin angannya untuk segera masuk rumah dan segera istirahat namun ternyata Ia masih takut bila masuk akan bertemu lagi dengan orang yang tadi malam telah merasa terganggu oleh tingkahnya. Amanda dari depan pintu merasa curiga dengan gerak-gerik seseorang yang dari tadi dilihatnya terus mengintip rumahnya dari belakang pohon yang sudah berusia puluhan tahun.
Dengan hati yang sabar Amanda menunggu kedatangan irfan di kursi yang berada di samping meja kayu tua, peninggalan kedua orang tuanya yang berada di teras rumah, meski dalam hatinya menyelinap rasa takut yang begitu kuat. Seketika sedang duduk tenang terlihat seseorang melintas di hadapan rumahnya dan mencoba memberanikan diri untuk bertanya meski keluarnya dari benak yang paling kecil, namun ketika bertanya bukan jawaban yang ia inginkan yang di dapat, namun hanya ejekan yang hina dia terima. Dari belakang pohon itu Irfan melihat kakanya sedang adu mulut dengan seseorang dan terlihat oleh kedua bola matanya, kakaknya seperti mau melemparkan tangannya tepat pada orang yang mengajaknya berduel, tangannya terus ditangkis oleh kesabarannya. Melihat kejadian , mendengar kata-kata dari kedua orang yang sedang adu mulut itu memompa semangat Irfan untuk membantu kakaknya menghadapi orang yang memulai masalah itu.
                                                ****
            Selang waktu beberapa tahun Irfan kini lekas tumbuh dewasa. Dalam era yang berbeda seperti ketika sedang kecil dulu, susah baginya untuk mencari nafkah demi menghidupi kakaknya yang kini sedang sakit lumpuh karena terkena HIV, dirinya sadar bahwa ini adalah buah tanaman yang selama hidupnya di urus dengan tidak sempurna dengan bibit setiap orang yang menggunakannya untuk memuaskan napsunya. Irfan pergi kesetiap tempat yang di mana membutuhkan tenaga kerja, namun karena kurangnya skill dia selalu hanya mendapatka kata maaf saja. Ketika sedang pusing mencari pekerjaan terlintas di pikirannya untuk mendatangi ka Astri dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan, namun ketika sampai di rumahnya dia melihat suasana di sana sangat sepi dan sudah tidak ada lagi lapak tempat mereka berjualan. Dengan tegar hati Irfan mencoba masuk, namun ketika mengetuk pintu keluar seseorang yang sudah lanjut usia, mengulurkan tangan dan merangkul tubuh Irfan sambil berkata
“ Irfan !Betulkah ini Irfan ? Kemana saja kamu ? baru datang lagi kesini.”
“ Maaf, Beh, selama ini aku mengurusi kakaku yang sedang jatuh sakit, apa lagi penyakitnya kini sangat susah untuk di sembuhkan, mungkin hanya kematian yang bisa menyembuhkannya.”
“ memangnya kakakmu sakit apa.” Sahut Babeh sambil membawa Irfan masuk rumah dan mempersilahkan duduk. Irfan menceritakan musibah yang menimpa keluarganya, kakaknya kini menderita penyakit HIV setelah bertahun-tahun menjadi wanita penghibur dan kini dia tidak bisa bekerja menghasilkan uang seperti dulu, kini semua  harus dengan bukti lulusan dari sekolah. Memang dulu jamannya berbeda dengan gampangnya untuk mendapatkan uang, dan dia sadar bahwa kehidupannya telah tetindih oleh berat gelombang jaman dan menyesal waktu kecil tidak pernah sekolah sehingga kini dia di lahirkan waktu menjadi orang yang bodoh, pengangguran dan menderita karna kekejaman jaman. Di sela perbincangan tentang keluarganya, Irfan bertanya tentang ka Astri yang dari tadi tidak dilihatnya. Dengan terisak-isak Babeh menceritakan kejadian ayng menimpa keluarganya setelah Astri berkenalan dengan Albert, sepengetahuannya Astri hanya berteman, ternyata Astri telah hamil dan ketika meminta pertanggung jawaban dari Albert, dia malah menolak dan pergi meninggalkan Astri pulang kembali kenegara asalnya, pernah dia bertanya pada Astri mengapa dia melakukannya dan ternyata maksud Astri melakukan hal itu dengan harapan bisa menjadi orang kaya setelah menikah dan bisa mengubah kehidupan keluarga di jaman yang serba mahal ini.
“ Terus sekarang bagaimana keadaannya, Beh?” sela Irfan ketika Babeh bercerita
“ Sekrang dia sudah meninggal karena depresi. Terkadang Babeh juga ingin segera menyusulnya, Babeh sudah tidak kuat lagi menahan beban hidup ini sendirian dan harus hidup ditinggalkan anak tercinta. Di tambah zaman sekarang sudah banyak toko  yang sangat moderen dengan ilmu mereka, Babeh kini kalah bersaing dan jatuh bangkrut.”  Setelah mendengar cerita dari Babeh Irfan ikut meneteskan air mata dan mengurungkan niatnya untuk menanyakan masalah pekerjaan.  Irfan berpikir ternyata di dunia ini bukan dia saja yang menjadi korban keganasan zaman, masih ada orang lain yang bahkan menurutnya sangat menderita di banding dia.
            Kini semua tinggal harapan bagi mereka, sebagai manusia yang hidup tergilas oleh gelombang jaman yang menjerumuskan mereka kedalam kesengsaraan dan mungkinkah semua penderitaan mereka akan berhenti sebelum ajal menjemput ?
            Senja kini telah tiba, matahari mulai meredup. Mungkinkah matahari kembali bersinar esok pagi? Entahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar